ADIL DALAM BERFIKIR DAN BERTINDAK
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1975.)
Kalimat tersebut seringkali dikutip dalam bentuk quotes di media sosial, dan tidak jarang digunakan sebagai sebuah prinsip hidup bagi beberapa orang, termasuk saya sendiri. Oleh Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan Indonesia, kalimat ini menjadi sumber inspirasi, namun di sisi lain menjadi koreksi dan kritik bagi diri sendiri dan bagi fenomena kaum intelektual di sekitar kita, yang jauh dari kata ideal dan -bukan hanya dalam berfikir tapi juga- bersikap secara subjektif.
Bahwa setiap orang memiliki akal yang diberikan oleh Tuhan dengan tujuan agar manusia memiliki kehendaknya sendiri. Kehendak tersebut melahirkan sebuah kemampuan untuk mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah hidupnya sendiri, maupun permasalahan sosial di sekitarnya. Akal manusia bukan seperti batu yang keras dan stagnan, tapi justru bersifat dinamis, dan memiliki potensi untuk terus berubah dan berkembang. Perubahan dan perkembangan akal ini berupa perubahan pola pikir yang sangat dipengaruhi oleh faktor sosialisasi dari lingkungan sekitar yang dapat dimaknai sebagaimana arti konvensional, yaitu “circle” pergaulan komunitas masyarakat baik di dunia nyata maupun dunia maya atau Lingkungan yang dapat diartikan juga sebagai sumber literasi, dimana ide-ide yang disampaikan melalui media tulis (buku atau artikel internet). Semua hal tersebut mempengaruhi pola pikir kita, dan perlahan doktrin tersebut membentuk suatu kesadaran dan bahkan membentuk karakter dan menentukan sikap.
Di samping membentuk suatu kompetensi, Lembaga Pendidikan juga memiliki peran dalam proses sosialisasi positif, yang mengajarkan bagaimana yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan. Kaum intelektual atau terpelajar sering disebut sebagai kelompok yang mempunyai kemampuan menyelesaikan permasalahan berdasarkan pengetahuan atau kompetensinya. Namun tendensi terhadap golongan atau pendapat tertentu justru seringkali membuat seorang intelektual berfikir dan bersikap tidak objektif, dan lebih parah, karena tendensi tersebut, beberapa intelektualis seringkali melampaui kompetensinya dalam menganalisa dan menyelasaikan permasalahan di sekitarnya. Bentuknya sering kita temukan dalam realitas kehidupan kita sehari-hari, dimana penyampaian ide, pendapat atau kritik oleh orang-orang tertentu tidak selalu karena ia tahu, melainkan hanya karena enggan untuk dibilang bodoh dan beberapa lain hanya bertujuan untuk memuaskan tendensiusitasnya saja.
Pemikiran orang memang bergantung apa yang ia baca. Seorang pelajar yang mempelajari ilmu hukum tentu akan mengetahui dan memahami disiplin tersebut. Lebih spesifik, pelajar ilmu hukum yang melulu membaca atau mempelajari hukum progresif tentu akan cenderung tidak sepakat dengan ide-ide hukum normatif. Contoh lain, orang yang mengikuti (follow) akun dari fraksi atau kelompok tertentu dan hanya membaca post yang sependapat tentu lambat laun akan melahirkan kecenderungan berfikir terhadap apa yang dibacanya. Dalam hal ini, kemudian lahir kesalahan dalam memahami dan menilai pengetahuan mereka dalam bidang tertentu. Hal ini disebabkan kepercayaan diri (confidence) yang tinggi seseorang yang lahir tanpa diimbangi dengan pengalaman menggali kompetensi. Dalam disiplin ilmu psikologi hal ini disebut dengan Dunning-Krueger Effect.
Sejalan dengan peribahasa “seperti ilmu padi, kian berisi kian merunduk”, seseorang akan memiliki kompetensi yang cukup jika proses pembelajaran atau sosialisasi yang dilakukan tidak dilalui melalui jalan instan. Semakin orang mengetahui kompetensinya, maka semakin ia sadar bahwa banyak hal yang tidak ia tahu dalam kompetensi yang digelutinya. Kesadaran akan sempitnya pengetahuan ini akan melahirkan sikap tawadhu’ atau rendah hati, yang ditandai dengan sikap bijaksana dalam memandang suatu permasalahan dan tidak secara buru-buru dalam bersikap.
Terhadap realitas ini, kita harus selalu berharap dan berusaha agar dihindarkan dari sikap subjektif yang tidak bijaksana tersebut. Dalam upaya tersebut, setidaknya ada 2 kaidah yang saya pegang erat hingga saat ini:
1. Tabayun jika datang berita dari orang fasik (QS. 46: 6)
Tabayun atau mengkonfirmasi kebenaran jika datang informasi dari sumber yang tidak terpercaya atau yang diragukan kebenarannya adalah hal yang harus senantiasa dilakukan. Upaya untuk terus menggali informasi secara berimbang, terus membaca, memahami realitas secara komprehensif, menganalisa dan melakukan komparasi atau perbandingan, dan upaya-upaya lain dalam rangka memahami kebenaran secara utuh adalah bentuk tabayun yang dapat menghindarkan kita dari sikap subjektif yang tidak bijak.
2.Bicara yang baik atau diam (Hadis)
Kebenaran yang bersifat relatif disebabkan ragamnya perspektif, seringkali menjadi model perdebatan dan diskursus dalam kehidupan sehari-hari. Kita boleh saja memperjuangkan kebenaran produksi akal kita sendiri, namun produk akal dan perspektif kebenaran orang lain bisa jadi berbeda. Buruknya pola komunikasi seringkali menjadi penyebab retaknya keharmonisan hubungan sosial, sehingga upaya sosialisasi yang dilakukan seringkali berakhir buruk. Dalam hal ini, kita harus menjaga dan memperbaiki pola komunikasi dan bila sulit dilakukan maka hal terbaik yang harus dilakukan adalah diam sebab manusia terbaik adalah manusia yang mampu menjaga akhlaknya (hadis).