RELASI AGAMA DAN BANGSA DALAM MENCAPAI TUJUAN BERNEGARA[1]
Oleh: Azim Izzul Islami, S.H.I., M.H.[2]
Manusia dengan segenap aspek multikulturalis yang mendampinginya, merupakan suatu entitas yang unik. Realita keragaman manusia, baik dari segi ras, suku, bangsa, agama dan ideologinya menjadi keniscayaan, tidak dapat dihindari, dan harus diterima sebagai fakta empiris-realistis. Sikap dewasa dan bijaksana menjadi sikap yang harus selalu menyertai dalam menghadapi realitas masyarakat yang majemuk. Islam sebagai salah satu pranata sosial yang tidak memungkiri fakta keragaman masyarakat ini bahkan menganjurkan kepada setiap pemeluknya untuk saling mengenal, berdialog, berinteraksi dan bersama-sama membangun kehidupan sejahtera di muka bumi tanpa memandang kondisi sosio kultural, gender, agama.[3] Tentunya dengan selalu memperhatikan dan membedakan ruang publik (muamalah) dan ruang privat yang bersifat personal (akidah).
Sejarah mencatatkan peran Nabi Muhammad dalam membangun ikatan emosional dan persatuan di antara kabilah-kabilah Arab yang majemuk. Perbedaan suku di kalangan masyarakat Arab sering menimbulkan konflik berkepanjangan.[4] Piagam Madinah yang merupakan konsensus masyarakat arab yang plural menjadi simbol persatuan yang berhasil memberikan kehidupan aman, Makmur, dan sejahtera bagi masyarakat Madinah yang plural saat itu.[5] Nabi Muhammad telah meletakkan dasar-dasar kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk dalam hal suku dan agama. Pada pokoknya, semua umat Islam, meski berasal dari banyak suku, merupakan satu komunitas. Hubungan antar-anggota komunitas serta antar-anggota komunitas Islam dan anggota komunitas lain didasari prinsip bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati, dan menghormati kebebasan beragama.[6] Lima prinsip tersebut mengisyaratkan: (1) persamaan hak dan kewajiban semua warga negara tanpa diskriminasi suku atau agama; (2) pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama.[7]
Persatuan di kalangan penduduk Yatsrib (Madinah) melalui Piagam Madinah ini setidaknya dapat dirumuskan dan dikategorikan dalam suatu konsep ukhuwah (persaudaraan) yang tidak berdasarkan agama, ras atau suku tertentu, melainkan persaudaraan yang dilandaskan pada satu tujuan, yaitu tujuan masyarakat plural dalam mencapai cita-cita bersama sebagai suatu kelompok masyarakat atau bangsa. Konsep ukhuwah sendiri telah dikenalkan oleh al-Qur’an dalam 4 bentuk meliputi: 1) Ukhuwah fi al-Ubudiyyah (Persaudaraan dalam Ketundukan), 2) Ukhuwah fi al-Insaniyyah (Persaudaraan dalam Kemanusiaan), 3) Ukhuwah fi al-Wathaniyyah (Persaudaraan dalam Kebangsaan) dan 4) Ukhuwah fi din al-Islam (Persaudaraan dalam Agama Islam).[8] Meskipun kental dengan nuansa Islami sebab disusun oleh Nabi Muhammad, Piagam Madinah justru lebih tepat dikategorikan dalam Ukhuwah fi al-Wathaniyyah sebab sifat plural dan multikultural pada masyarakat Madinah diikat melalui kesamaan tujuan. Meskipun demikian, sebab dibuat oleh Nabi Muhammad –yang setiap aqwal, af’al dan taqrirnya sesuai dengan ajaran Islam- maka Piagam Madinah juga dapat dikategorikan dalam ranah Ukhuwah Islamiyyah atau Persaudaraan yang sesuai dengan ajaran Islam.[9]
Dalam konteks ke-Indonesia-an, Piagam Madinah dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam Indonesia secara khusus dan seluruh rakyat Indonesia secara umum. Di samping konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara positif, Piagam Madinah yang merupakan salah satu dari doktrin religius yang tidak hanya berupa qaul (ucapan), namun lebih jauh harus mampu diimplementasikan dalam kehidupan umat muslim sebagai bentuk kepatuhan terhadap ajaran agama. Piagam Jakarta yang menjadi cikal bakal lahirnya Pancasila sendiri bahkan dalam perjalanannya menghadapi kritik dan konflik pemikiran yang menuntut kedewasaan berfikir para pendiri negara (founding fathers) dalam membangun kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama yang ideal. Hingga pada akhirnya, melalui kedewasaan berfikir dan kesadaran akan pluralisme kita, agama dan negara mampu “dikawinkan” melalui ikatan Pancasila yang mampu mengimplementasikan ajaran agama dan penegakan syariat secara inklusif.[10]
Perumusan Pancasila dan konstitusi memang berupa kristalisasi dari nilai-nilai, kebudayaan dan tradisi yang telah mengakar kuat dalam jiwa bangsa (volkgeist),[11] sehingga mampu bertahan dan dilestarikan oleh masyarakat Indonesia meskipun di berada dalam badai globalisasi dan perubahan atau pergeseran nilai. Terlepas dari konflik saat perumusannya, Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi jiwa bagi setiap sila-sila selanjutnya. Setiap pengamalan sila-sila Pancasila tentu tidak boleh terlepas dari unsur transeden, yang artinya harus sesuai dengan ketentuan ajaran agama, dimana penganut agama Islam terikat pada ketentuan ajaran Islam, pun terhadap agama-agama lain yang ada di Indonesia yang terikat dengan ajaran agamanya masing-masing. Tujuan dari pengamalan Pancasila ini tidak lain adalah untuk mencapai tujuan perlindungan (Protect Goal), kesejahtaraan (Welfare Goal), pencerdasan (Educational Goal) dan ketertiban (Peacefull Goal) sebagaimana telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945.
Upaya negara dalam mencapai tujuan ini tentu bukan hal mudah, dan tidak jarang menghadapi hambatan dan rintangan. Konflik atas nama agama sering dituding menjadi salah satu sumber permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pun demikian, meskipun memiliki dasar dan prinsip keyakinan (akidah) yang berbeda, setiap agama mengajarkan pada kebaikan.[12] Oleh sebab itu, tentu perlu dibuatkan garis tegas (dikotomi) antara agama dengan oknum.
Pada taraf ini, kita perlu kembali membangun kesadaran bahwa setiap agama memiliki ajaran atau prinsip yang berbeda yang tidak -akan pernah- bisa disatukan dan dipersamakan. Namun dalam hal hubungan atau interaksi sosial, tentu setiap orang mengharapkan kehidupan sosial yang baik dan dalam hubungan kebangsaan setiap orang menginginkan tercapainya tujuan hidup bersama sebagai bangsa yang satu. Pemisahan area privat dengan area publik perlu dipertegas dan senantiasa disosialisasikan kepada masyarakat agar muncul kesadaran bahwa masalah keyakinan yang berada di ranah privat tidak perlu menjadi perdebatan inti sebab dalam hal keimanan dan keyakinan, tentu setiap orang memiliki persepsi akan kebenaran akan keyakinannya masing-masing. Di sisi lain, dalam masalah kebangsaan -sebagai bagian dari Bangsa Indonesia- tujuan dari pendirian negara ini adalah benang kusut yang harus diurai bersama-sama. Dalam realisasi konsep ini, tentu negara harus melaksanakan amanat dari Pasal 28E ayat (1) , Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dengan menjamin hak-hak setiap warga negara dalam memeluk agama dan kepercayaan serta memberikan perlindungan hukum terhadapnya.
Islam mengajarkan bahwa dalam kehidupan sosial, kebermanfaatan terhadap orang lain merupakan hal yang menentukan kualitas pribadi seorang muslim.[13] Kualitas pribadi tersebut dapat dilihat dari sikap bagaimana seorang muslim memperlakukan keluarganya, saudaranya, tetangganya dan orang-orang yang ada di sekitarnya tanpa memandang ras, suku, bangsa dan agamanya. Bahkan dalam hadis lain, sikap pribadi muslim merupakan cerminan dari keimanannya.[14] Oleh sebab itu, Penulis senantiasa berkeyakinan bahwa orang baik adalah orang yang menjalankan ajaran agamanya dengan baik.
DAFTAR BACAAN
Al-Qur’an
Abidin, Zain, Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin Dan Sejarah, Jurnal Humaniora Vol.4 No.2 Oktober 2013.
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma Press.
Muhammadiyah Sulsel, PW, Materi Dakwah Ramadhan. Cet I:P3i Pers: Makassar, 2012.
Nawawi, Muhyiddin Yahya Bin Syaraf, al-Arbain an-Nawawiyah, Alih Bahasa: Abdullah Haidhir, Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah, 2007.
Sadjzali, Munawir, Kembali Ke Piagam Madinah, dalam Abu Zahra (ed.). Poloitik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, Bandung Pustaka Hidayah, 1999.
Shihab, M. Quraish. 2007. Membumikan Al-Qur’an: Mu’jizat al-Qur’an. Cet. I. PT Mizan Pustaka: Bandung.
Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Revolusi Terpimpin (1959-1965), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasat Islamiyah II, Jakarta: Rajawali Press, 2004.
Daventa, Sherleen, Peran Agama Menciptakan Perdamaian Dunia, https://binus.ac.id/character-building/2020/05/peran-agama-menciptakan-perdamaian-dunia/, diakses pada 24 Juni 2021.
[1] Materi disampaikan pada acara Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Katingan, di Aula Kementerian Agama Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 26 Juni 2021.
[2] Hakim pada Pengadilan Agama Kasongan
[3] Lihat QS. Al-Hujurat: 13.
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasat Islamiyah II, Jakarta: Rajawali Press, 2004, hal. 24
[5] Dalam konstitusi Madinah tersebut secara tegas dinyatakan hak-hak penganut Agama Yahudi hidup berdampingan secara damai dengan kaum muslimin. Kaum Yahudi menerima konstitusi Madinah secara sukarela. Berkat konstitusi ini, kaum Yahudi terangkat dari sekadar klien kesukuan menjadi warga negara yang sah. Praktek Rasulullah ini dihubungkan pula dengan ajaran-ajaran al-Qur’an mengenai kedudukan khusus mereka sebagai ahli alkitab. Gagasan besar tentang kesatuan umat manusia ini dalam QS Makkiyah; al-Nahl: 93, Yunus: 19, Hud: 118, al-Anbiya’: 92, al-Mu’minun: 52, al-Syura: 8 dan al-Zukhruf: 33. Kemudian gagasan ini masih kita jumpai juga dalam dua surat Madaniyah, yaitu dalam QS al-Baqarah: 213 dan al-Maidah: 48. Lihat lebih lengkap pada Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Revolusi Terpimpin (1959-1965), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998, hlm. 156
[6] Lihat penjelasan Munawir Sadjzali, Kembali Ke Piagam Madinah, dalam Abu Zahra (ed.). Poloitik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, Bandung Pustaka Hidayah, 1999, hlm. 333
[7] A. Syafii Maarif, Op.Cit, hlm. 159.
[8] Muhammadiyah Sulsel, PW, Materi Dakwah Ramadhan. Cet I:P3i Pers: Makassar, 2012, hlm. 112-113.
[9] Menurut Quraish Shihab, istilah “Ukhuwah Islamiyyah” akan lebih tepat jika didudukkan sebagai adjektif, yang berarti persaudaraan yang sesuai dengan ajaran Islam. Lihat M. Quraish Shihab. 2007. Membumikan Al-Qur’an: Mu’jizat al-Qur’an. Cet. I. PT Mizan Pustaka: Bandung, hlm. 486-487.
[10] Penegakan syariat Islam tidak menghendaki adanya polarisasi peta pemahaman umat Islam dalam kaitannya dengan syariat Islam. Akan tetapi justru menawarkan konsepsi syariat Islam yang inklusif dengan membuka diri bagi terakomodasinya berbagai elemen, baik secara internal maupun secara eksternal. Dengan demikian, paradigma syariat Islam berbasis multikulturalisme yang mengabsahkan keanekaan internal dan eksternal yang terdiri dari komunitas muslim dan komunitas non muslim. Oleh karena itu, masalah toleransi akan secara langsung terkait dengan masalah pencapaian syariat Islam. Konsep Islam Inklusif, sama sekali tidak menghendaki usaha penyatuan agama atau mencampur adukannya. Konsep ini justru menghendaki setiap pemeluk agama konsekuen dengan ajaran agama yang diyakininya. Akan tetapi, kesungguhan beragama tersebut tidak boleh disertai dengan anggapan bahwa agama lain sepenuhnya salah. Setiap ajaran agama pasti mengandung nilai-nilai kebenaran. Sehingga selama nilai-nilai tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an harus mengakui dan menerimanya sebagai kebenaran. (Lihat Zain Abidin, Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin Dan Sejarah, Jurnal Humaniora Vol.4 No.2 Oktober 2013, hlm. 1287).
[11] Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma Press, hlm. 8.
[12] Sherleen Daventa, Peran Agama Menciptakan Perdamaian Dunia, https://binus.ac.id/character-building/2020/05/peran-agama-menciptakan-perdamaian-dunia/, diakses pada 24 Juni 2021.
[13] Pada hadis “khairu an-naas anfauhum li an-naasi”, penggunaan lafadz an-nas melingkupi manusia secara keseluruhan yang memiliki abstraksi bahwa kebermanfaatan manusia terhadap manusia lain tidak hanya untuk sesama muslim saja melainkan untuk manusia seluruhnya.
[14] Hadis yang dimaksud adalah Hadis ke-15 dalam kitab Arbain Nawawi yang berbunyi “'an abii hurairata radziallahu 'anhu, anna rasulullahi shallallahu 'alaihi wasallama, qaala : man kana yu'minu billahi wal yaumil akhir fal yaqul khairann au liyashmut, wa man kana yu'minu billahi wal yaumil akhir fal yukrim jaarahu, wa man kana yu'minu billahi wal yaumil akhir fal yukrim dhaifahu”. Lihat Muhyiddin Yahya Bin Syaraf Nawawi, al-Arbain an-Nawawiyah, Alih Bahasa: Abdullah Haidhir, Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah, 2007, hal. 46.